Oleh Ajip Rosidi
A. Pendahuluan
Tidak mudah bagi saya
untuk memenuhi permintaan panitia agar berbicara tentang “Pandangan Hidup Orang
Sunda”. Kalau tidak salah, beberapa tahun yang lalu Proyek Sundanologi pernah
mengadakan penelitian tentang hal tersebut oleh sebuah tim yang dipimpin oleh
almarhumah Prof. Dr. Soewarsih Warnaen. Hasilnya berbentuk buku tiga jilid yang
masing-masing cukup tebal. Sayangnya semua buku saya masih dalam peti, sehingga
tidak dapat saya konsultasi mengenai isinya. Yang saya ingat, penelitian
tersebut berdasarkan (hanya) beberapa buku dan naskah untuk mengetahui
pandangan hidup orang Sunda masa lampau, di samping mengadakan wawancara untuk
mengetahui pandangan hidup orang Sunda masa kini.
Saya sendiri belum
pernah mengadakan penelitian tentang hal itu dan tidaklah mungkin dalam waktu
yang singkat melakukannya untuk keperluan sekarang. Selain kesibukan yang
bersifat yang tak kenamengena dengan penelitian, juga minat saya sekarang
tidaklah terfokus ke sana.
Namun demikian untuk
memenuhi permintaan panitia, saya sempat memeriksa beberapa ratus peribahasa
dan babasan Sunda yang dikumpulkan oleh Mas Natawisastra dalam buku Saratus
Paribahasa jeung Babasan yang terdiri atas lima (Cetakan I Jakarta, 1914;
Cetakan II, Jakarta, 1978) dan Babasan jeung Paribahasa Sunda yang disusun oleh
Samsoedi (Jakarta, t.t., agaknya awal tahun 1950-an). Meskipun nampaknya buku
yang kedua, bersumber kepada yang pertama, namun ternyata dimuat juga
peribahasa yang tidak terdapat dalam buku yang pertama, sehingga menambah
jumlahnya dengan yang tidak ada pada kelima jilid buku yang pertama.
B. Peribahasa yang
Islami
Karena saya
terpengaruh oleh pendapat sahabat saya almarhum H. Endang Saifuddin Anshari,
M.A, yang dikemukakannya dalam Riungan Masyarakat Sunda di Bandung tahun 1967,
yang menyimpulkan bahwa “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam“, maka ketika
meneliti peribahasa Sunda itu yang saya cari adalah peribahasa yang Islami.
Namun di luar dugaan, ternyata dari 500 peribahasa lebih yang dimuat di dalam
kedua buku itu, yang bersifat Islam atau berbau Islam karena mempergunakan
kata-kata yang berasal dari lingkungan Islam, sedikit sekali. Seluruhnya hanya
ada 16 buah peribahasa, yaitu:
1. Kokoro manggih mulud, puasa manggih
lebaran (I: 36).
2. Manuk hiber ku jangjangna (I: 38).
3. Undur kadeuleu punduk, datang kadeuleu
tarang (I: 75).
4. Jauh ka bedug (II: 16).
5. Leuwi jero beunang diteuleuman, hate
jalema deet henteu kakobet (II: 39).
6. Ngalebur tapak (II: 60).
7. Rup ku padung rap ku lemah (II: 85).
8. Babalik pikir (III: 7).
9. Mun teu ngarah moal ngarih, mun teu
ngakal moal ngakeul, mun teu ngopek moal nyapek (III: 54).
10. Dihin pinasti anyar pinanggih (IV: 16).
11. Mulih ka jati mulang ka asal (IV: 37).
12. Kokoro nyoso, malarat rosa, Lebaran teu
mencit hayam (V: 25).
13. Mipit teu amit, ngala teu menta (V: 31).
14. Dikungkung teu diawur, dicangcang teu
diparaban (PB: 9).
15. Hirup nuhun, paeh rampes (PB: 15).
16. 16. Umur gagaduhan, banda sasampiran (PB:
34).
Kemudian saya
mengingat-ingat peribahasa Sunda yang bisa disebut Islami, dan ternyata hanya
berhasil mencatat beberapa buah, yaitu:
17. Hirup di dunya
darma wawayangan.
18. Rejeki tara
pahili, bagja teu paala-ala.
19. Pondok jodo
panjang baraya.
Seluruhnya tidak
sampai 20 buah, artinya tidak sampai 4% dari seluruh peribahasa yang diteliti!
Apakah dengan demikian peribahasa yang konon mencerminkan jiwa atau pandangan
hidup orang yang memilikinya, yaitu orang Sunda, dapat disebut Islami, sehingga
dapat disimpulkan bahwa Islam itu Sunda dan Sunda itu Islam? Kalau melihat
persentasinya yang begitu rendah, niscaya tidak dapat kita menyimpulkan bahwa
Islam itu Sunda atau Sunda itu Islam.
C. Arti Peribahasa
yang Dicatat
Tadi sudah saya
katakan bahwa peribahasa yang saya catat itu bukan semata-mata mencerminkan
pandangan hidup yang Islami, juga yang hanya menyebut ciri-ciri lingkungan
Islam, seperti: lebaran, mulud, dan bedug. Secara berurut akan saya uraikan
arti peribahasa-peribahasa tersebut.
1. Kokoro manggih
mulud, puasa manggih lebaran. Terjemahannya: Orang melarat bermuludan, orang
puasa berlebaran. Peribahasa tersebut digunakan untuk menyebut yang
ajimungpung, serakah dan tidak tahu batas. Nilai ini bersesuaian dengan Islam
yang menganjurkan agar orang tahu batas, atau mengambil jalan tengah (bukan
yang ekstrim).
2. Manuk hiber ku
jangjangna. Terjemahannya: Burung terbang memakai sayapnya, manusia dengan
akalnya. Peribahasa ini memiliki arti yang sama dengan nomor 7.
3. Jauh ka bedug.
Terjemahannya: Jauh dari mesjid karena mesjidlah yang mempunyai bedug. Artinya
orang yang hidup jauh dari kota. Biasanya dipakai mengejek orang kampung, atau
orang yang tidak tahu kehidupan kota. Dalam peribahasa ini tak ada nilai yang
Islami, karena biasanya hanya dipakai untuk mengejek saja.
4. Lewi jero beunang
diteuleuman, hate jelema deet henteu kakobet. Terjemahannya: Lubuk dalam dapat
diselami, hati manusia meski dangkal tak dapat diketahui. Peribahasa ini
dipakai untuk menggambarkan bahwa kalbu manusia itu merupakan rahasia yang
tertutup bagi manusia yang lain. Saya kira peribahasa ini sesuai dengan
pandangan Islam.
5. Rup ku padung rap
ku lemah. Terjemahannya: Ditutup dengan padung, diurug dengan tanah. Maksudnya
menggambarkan manusia yang masuk ke dalam kubur, ditutup dengan kayu padung dan
kemudian diurug dengan tanah. Biasanya dipakai untuk menyatakan bahwa sampai
mati dan dikuburkan, dia takkan lupa akan kebaikan atau hal yang dilakukan oleh
seseorang terhadap dirinya.
6. Babalik pikir.
Terjemahannya: Sadar atau insap dari perbuatan yang buruk dan melakukan
perbuatan yang baik.
7. Mun teu ngarah
moal ngarih, mun teun ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek. Kalau
tidak berusaha takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal nanti
takkan menanak nasi; kalau tidak bekerja takkan mungkin bisa makan. Artinya sejalan
dengan nomor 2, tetapi sesuai dengan ajaran Islam, lebih menekankan tentang
pentingnya ikhtiar.
8. Dihin pinasti
anyar pinanggih. Terjemahannya: Nasib sudah dipastikan sejak awal, namun baru
sekarang dialami. Kepercayaan akan adanya takdir yang sudah ditetapkan sejak
awal baru kemudian dialami.
9. Mulih ka jati
mulang ka asal. Terjemahannya: Kembali ke tempat asal. Artinya: Meninggal
dunia. Kadang-kadang dipakai istilah mulih ka rahmatullah atau mulih ka
kalanggengan, yaitu pulang ke rahmatullah atau pulang ke tempat yang langgeng.
Konsep ini sangat Islami karena menurut pandangan Islam manusia setelah
meninggal kembali ke tempat asalnya: hadirat Allah Swt., rahmatullah.
Innalillah wa inna ilaihi roji’un.
10. Kokoro nyoso,
malarat rosa, Lebaran teu meuncit hayam. Terjemahannya: Sangat miskin, sangat
melarat, sehingga pada hari Lebaran tak mampu menyembelih ayam. Dalam
masyarakat Sunda, pada hari Lebaran orang biasanya mengadakan selamatan dengan
memasak makanan yang lebih dari biasa. Paling tidak memotong ayam. Tapi orang
yang dimaksud karena melaratnya tak mampu menyembelih ayam sekalipun, sehingga
tak dapat mengantarkan kiriman Lebaran kepada orang tua atau tetangganya.
11. Mulih ka jati,
mulang ka asal. Terjemahannya: Mengambil barang atau memetik tanaman tanpa
meminta izin lebih dahulu kepada yang punya. Nilai ini sangat Islami, karena
mengambil sesuatu tanpa seizin yang punya sama saja dengan mencuri.
12. Dikungkung teu
diawur, dicangcang teu diparaban. Terjemahannya: Dikurung tak dikasih makanan,
diikat tak diberi makan. Biasanya dipakai untuk menyebut isteri yang oleh
suaminya tidak dipedulikan lagi, tetapi tidak juga ditalak. Karena ada
urusannya dengan pernikahan niscaya ada hubungannya dengan hukum Islam.
13. Hirup nuhun, paeh
rampes. Terjemahannya: Hidup syukur, mati pun baik. Orang yang sudah pasrah,
menyerahkan hidup ataupun matinya kepada Yang Mahakuasa. Tidak lagi mempunyai
keinginan.
14. Ngalebur tapak.
Terjemahannya: Menghilangkan jejak lama. Taubat. Sama artinya dengan nomor 6.
15. Umur gagaduhan,
banda sasampiran. Terjemahannya: Umur dan harta benda bukanlah milik sendiri.
Dipakai untuk menyatakan bahwa hidupnya sendiri bukan miliknya, karena ada
Tuhan Yang Mahakuasa. Peribahasa ini sejalan dengan yang berikut.
16. Hirup di dunya wawayangan.
Terjemahannya: Hidup di dunia itu seperti wayang (yang digerakkan oleh dalang).
Sesuai dengan ajaran Islam yang menganggap manusia tak berdaya-upaya melainkan
dengan kehendak Allah. La haula wa laa quwatta, ila billahi aliyul adzim.
17. Rejeki tara
pahili, bagja teu paala-ala. Terjemahannya: Rizki atau takdir orang itu sudah
ditentukan sejak awal, sehingga takkan tertukar dengan takdir orang lain.
Tuhanlah yang menentukannya. Maka orang harus menerima dengan sabar apa pun
atau berapa unsur pun rizki yang diperolehnya.
18. Datang katembong
tarang, undur katembong punduk. Terjemahannya: Waktu datang memperlihatkan
dahi, waktu pulang memperlihatkan bahu (punduk). Etika kalau berkunjung ke
rumah orang harus menemui si empunya rumah begitu pula pada waktu pulang harus
menemuinya dahulu. Sesuai dengan etika Islam yang mengharuskan orang berlaku
sopan dan mengucapkan salam waktu berkunjung ke rumah orang begitu juga sebelum
pergi meninggalkannya harus menyampaikan salam pula.
19. Pondok jodo
panjang baraya. Terjemahannya: Meskipun jodoh pendek, tetapi persaudaraan
haruslah tetap diperlihara. Sesuai dengan ajaran Islam yang menjaga
silaturahmi.
D. Peribahasa yang
Lain
Bagaimana dengan
peribahasa yang lain yang tak mengandung atau tak sesuai dengan ajaran Islam?
Seperti telah dikatakan, peribahasa mencerminkan kepribadian bangsa yang
memilikinya. Maka beberapa peribahasa ini menunjukkan kepribadian orang Sunda.
Ada peribahasa yang
menggambarkan hal-hal yang kurang baik, sehingga maksudnya mengingatkan agar
menghindari perbuatan yang dianggap tidak atau kurang baik oleh masyarakat. Di
antaranya:
1. Adam lali tapel,
artinya orang yang lupa kepada asalnya, tak ingat akan sanak-saudaranya
sendiri.
2. Ati mungkir,
beungeut nyanghareup, artinya meskipun nampak seperti setia namun tidaklah
demikian dalam hatinya. Dikatakan kepada orang yang menjadi bawahan orang lain.
3. Asa aing uyah
kidul, artinya angkuh, sombong, merasa paling hebat seperti garam dari lautan
selatan dianggap lebih asin daripada garam yang dibuat di lautan lain.
4. Lodong kosong
ngelentrung, artinya tong kosong nyaring bunyinya.
5. Marebutkan balung
tanpa eusi, sama dengan marebutkeun paisan kosong. Artinya memperebutkan
sesuatu yang tak ada gunanya.
6. Moro julang
ngaleupaskeun peusing. Artinya untuk memperoleh sesuatu yang belum tentu,
melepaskan barang yang sudah di tangan.
7. Nu asih dipulang
sengit, nu nyaah dipulang moha. Artinya membahas kebaikan dengan keburukan. Air
susu dibalas dengan air tuba.
8. Nu titeuleum
disimbeuhan. Artinya meledek atau menertawakan orang yang sedang ditimpa
kemalangan.
9. Ngarawu ku siku.
Artinya karena serakah ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya malah hanya
memperoleh sedikit.
10. Sabuni-buni nu
ngising. Artinya orang yang berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang
tidak baik, akhirnya nisca akan diketahui juga.
11. Monyet
ngagugulung kalapa. Artinya menunjuk kepada orang yang memiliki sesuatu yang
berharga tetapi ia sendiri tidak dapat mengambil manfaat daripada miliknya itu.
12. Nyalindung ka
gelung, dikatakan kepada laki-laki yang menikah dengan wanita kaya sehingga ia
tidak usah mencari nafkah lagi. Biasanya wanitanya lebih tua daripada si
laki-laki.
13. Agul ku payung
butut. Artinya membangga-banggakan keturunan yang sebenarnya sudah tidak ada
artinya lagi.
14. Ngijing sila
bengkok sembah. Artinya hampir sama dengan ati mungkir beungeut nyanghareup,
dipakai untuk menyebut orang yang tidak setia atau sungguh-sungguh menjalankan
perintah majikannya.
15. Gindi pikir
belang bayah. Artinya tidak mempunyai hati yang tulus, selalu hendak
mencelakakan orang lain.
16. Goong nabeuh
maneh. Artinya gemar menceritakan keunggulan dirinya sendiri di depan orang
lain. Menyombongkan perbuatan sendiri.
17. Kandel kulit
beungeut. Artinya tak tahu malu. Muka badak.
18. Luncat mulang.
Artinya perkataannya tak dapat dipegang sebab sering berubah. Lompatannya
bolakbalik.
19. Ka bawa ku
sakaba-kaba. Artinya ikut melakukan perbuatan jelek karena ikut-ikutan orang
lain.
20. Pindah
pileumpangan. Artinya berubah adat karena naik kedudukan atau menjadi kaya,
yang tadinya ramah terhadap orang kecil, menjadi sombong, dan lain-lain.
21. Elmu ajug.
Artinya orang yang gemar memberi keterangan kepada orang lain mengenai sesuatu
kebaikan tetapi dia sendiri tidak melakukannya.
22. Cul dogdog
tinggal igel. Artinya meninggalkan garapan yang utama karena tergiur oleh yang
kurang penting. Didasarkan dari perminan reog atau ogel, yang setiap
permainannya membawa dogdog yang dipukulnya sepanjang permainan dan orang
menari seirama dengan pukulan dogdog itu. Tapi kadang-kadang karena asyik
menari, ada pemain yang menaruh dogdog-nya.
23. Pagirang-girang
tampian. Artinya semua orang tidak ada yang mau mengalah, karena ingin mandi
atau mencuci di tepian yang paling hulu, dengan demikian ia mendapat air yang
bersih, sedangkan orang lain terpaksa memakai air yang sudah digunakan.
24. Cara kuda lepas
ti gedogan. Artinya orang yang keluar dari tempatnya lalu melakukan apa saja
yang dia kehendaki tanpa memperhatikan aturan lagi.
25. Nyieun pucuk ti
girang. Artinya orang yang berbuat sesuatu untuk melakukan pertengkaran dengan
yang lain.
Sebenarnya banyak
lagi peribahasa yang intinya merupakan peringatan agar jangan melakukan sesuatu
yang tidak terpuji atau bisa menimbulkan bahaya. Tapi dengan contoh tersebut
kiranya kita cukup mendapat gambaran tentang apa-apa yang menurut pandangan
orang Sunda kurang baik jangan dilakukan. Dari contoh tersebut kita mendapat
hikmah bahwa orang yang lupa pada asalnya, orang yang berbuat khianat atau
tidak setia, orang yang sombong dan merasa dirinya paling hebat, orang yang
banyak bicara tanpa isi, orang yang mempertengkarkan sesuatu yang kosong, orang
yang mengharapkan sesuatu yang belum tentu sampai melepaskan apa yang sudah
didapat, orang tidak tahu membalas budi, orang yang menertawakan orang yang
sedang mendapatkan musibah, orang yang serakah, orang yang berbuat kebusukan
atau kejahatan, orang yang tak tahu akan manfaat apa yang dimiliknya, laki-laki
yang mengandalkan hidupnya kepada isteri, orang yang membangga-banggakan
keturunan saja, orang yang tak berhati tulus dan hendak mencelakakan orang
lain, orang yang suka membangga-banggakan perbuatannya sendiri, orang tak tahu
malu, orang yang perkataannya tak dapat dipegang, orang yang mudah terseret
oleh sesuatu yang buruk, orang yang berubah adat karena naik pangkat, orang
yang suka memberi nasihat kepada orang lain, tapi dia sendiri tak pernah
mengamalkan ilmunya, orang yang meninggalkan garapan utama karena asyik dengan
garapan yang kurang penting, orang yang ingin menang sendiri, dan orang yang
gemar memulai pertengkaran dengan orang lain, semua itu dianggap kurang baik.
Artinya nilai yang dianut oleh Sunda adalah yang sebaliknya, seperti harus
istikomah, harus setia, harus jujur, harus rendah hati, harus tahu diri, harus
bertanggungjawab, dan lain-lain. Semua nilai-nilai positif itu saya kira juga
menjadi dasar ajaran Islam.
Di samping peribahasa
yang merupakan cegahan agar orang jangan melakukan sesuatu yang tercela, banyak
juga peribahasa yang menganjurkan hal-hal yang harus dilakukan orang, misalnya:
1. Batok bulu eusi
madu. Artinya meskipun nampaknya dari luar bodoh atau tak punya isi yang
berharga, namun sebaliknya, isinya sesuatu yang berguna.
2. Bobot pangayon
timbang taraju. Artinya pertimbangan yang adil, sesuai dengan timbangan hukum
(pangayon adalah alat mengukur isi, untuk menakar, sedangkan taraju adalah
timbangan untuk mengukur beratnya kapas).
3. Ditiung samemeh
hujan. Artinya harus bersiap-siap menghadapi kesulitan yang mungkin datang.
Sedia payung sebelum hujan.
4. Sareundeuk saigel,
sabobot sapihanean, sabata sarimbagan. Artinya selalu bersama-sama tak pernah
bertengkar karena berbeda pendapat, rukun dan saling menghargai.
5. Kujang dua
pangadekan. Artinya mempunyai maksud ganda, sehingga dengan sekali jalan
mendapat beberapa hasil.
6. Kudu boga saku
dua, atau kudu boga pikir kadua leutik. Artinya harus mempunyai pikiran
rangkap, agar tidak mudah tertipu atau mudah terjebak. Segala sesuatu
dipertimbangkan dengan matang.
8. Pindah cai pindah
tampian. Artinya menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, baik tempat
tinggal maupun tempat pekerjaan. Dengan demikian tidak mudah terseret pada
pertengkaran, disukai oleh lingkungan baru.
9. Caina herang
laukna beunang. Artinya mengusahakan agar mencapai hasil dengan tidak
menimbulkan ketegangan dengan orang lain.
10. Jelema pasagi,
atau masagi. Artinya orang yang banyak kepandaian atau kemampuan, sehingga
dapat melakukan apa saja. Ada juga yang menganggap bahwa di samping itu juga
harus mempunyai kekayaan yang cukup.
11. Kuru cileuh
kentel peujit. Artinya mengurangi tidur dan makan karena ingin mencapai sesuatu
atau karena ingin jadi orang pandai. Tirakat.
12. Landung
kandungan, laer aisan. Artinya orang yang banyak pertimbangan, adil, sabar, tak
mudah mengambil keputusan yang gegabah.
13. Mangkok emas eusi
madu. Artinya wadah dan isi sama-sama berharga, dipakai untuk menyebut orang
pandai yang halus budi bahasanya dan santun sikapnya.
14. Malapah gedang.
Artinya tidak langsung menanyakan sesuatu kepada intinya, melainkan mulai
dengan hal-hal lain yang sedikit demi sedikit menju kepada maksud yang
sebenarnya, sehingga yang ditanya atau diajak berbicara tidak merasa tertekan.
15. Nangtung di
kariungan, ngadeg di karegeman. Artinya harus sesuai dengan keputusan bersama,
sehingga tidak menimbulkan pertengkaran yang tak perlu.
16. Nete taraje
nincak hambatan. Artinya melakukan sesuatu harus sesuai dengan urutan yang
sudah ditetapkan.
17. Sapapait
samamanis, atau sabagja sacilaka. Artinya selalu rukun. Lihat: nomor 4 dan
nomor 7.
18. Paheuyeuk-heuyeuk
leungeun. Artinya saling tolong dan saling bantu dalam mengerjakan sesuatu.
19. Buruk-buruk papan
jati. Artinya meskipun ada perbuatannya yang tercela, tapi karena orang itu
masih ada hubungan persaudaraan,